Pabrik Gula di antara tujuan-tujuan wisata lain di Provinsi Jawa Timur
Mengapa Pabrik Gula?
Mendengar kata-kata pabrik gula yang terbayang di kepala adalah adanya lokomotif tua, berkarat, tapi dengan gagahnya menarik lori-lori yang terisi tumbupan batang-batang tebu. Dengan suaranya yang khas, lokomotif tersebut bergerak perlahan dengan sesekali menyemburkan asapnya dari sebelah atas maupun sisi samping kanan-kirinya.
Memasuki dalam pabrik gula, terbayang mesin-mesin tua yang digunakan untuk mengolah batang-batang tebu tadi mulai dari proses penggilingan batang tebu sampai proses pengemasan. Di dalam pabrik, udara terasa panas dengan para pekerja yang penuh keringat di sela-sela bunyi gesekan mesin-mesin tua. Asap tebal keluar dari cerobong-cerobong yang tinggi dengan mengeluarkan berbagai gas sisa pembakaran. Dan tidak lupa, teriakan keras para mandor dari kalangan pribumi yang terkadang berkelakuan lebih ganas dari pegawai Belanda sendiri. Belum lagi kisah yang romantis antara pegawai Belanda dengan penduduk pribumi yang akhirnya menghasilkan keturunan dari dua bangsa yang berbeda.
Manisnya gula bukan sekedar dihasilkan dari batang-batang tebu yang baik. Tetapi panasnya pabrik, keringat para pekerja pabrik, bunyi gemeretak mesin, lokomotif tua, keringat para petani tebu, serta balutan berbagai kisah yang membuat gula yang dihasilkan mempunyai cita rasa yang berbeda. Sesuatu hal yang tidak bisa digantikan dengan perkembangan teknologi modern yang mampu memproduksi gula dengan lebih cepat.
Pabrik gula merupakan aset yang sangat berharga sekaligus unik dibanding dengan obyek wisata lain.
Pertama, terkait nilai historis yang dimiliki. Kehadiran pabrik gula di Indonesia tidak lepas dari campur tangan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda melalui kongsi dagangnya, yaitu VOC memonopoli perdagangan rempah-rempah yang dihasilkan dari bumi Indonesia. Dalam perkembangannya bukan saja cengkeh dan pala, Belanda menyebarkan sayapnya pada hasil perkebunan lainnya yaitu tebu. Berbeda dengan hasil perkebunan yang lain, pada perkebunan tebu ini, Belanda juga menghadirkan mesin-mesin, lori-lori, dan fasilitas lain untuk mengubah batang-batang tebu menjadi gula.
Bukan sekedar memperkenalkan alat-alat modern di waktu itu, dengan adanya pabrik gula juga menimbulkan pengaruh sosial ekonomi yang berbeda. Berkembang bangunan-bangunan pabrik dan sekitarnya dengan arsitektur yang khas Belanda. Baik rumah-rumah yang digunakan para pegawai pabrik yang notabene orang Belanda maupun pribumi yang menjadi pegawai di sana, misalnya sebagai mandor.
Kedua, terkait dengan nilai pendidikan. Masyarakat, khususnya pelajar banyak yang belum memahami proses pembuatan gula dari tebu. Materi pembuatan tebu ini sangat menunjang dalam pembelajaran kimia baik bagi pelajar (SMP, SMA maupun SMK) bahkan bagi para mahasiswa. Itu baru dari proses pembuatannya, belum lagi jika ingin meninjau dari sisi arsitektur bangunan-bangunan pabrik dan sekitarnya, teknik permesinan pada alat-alat dalam pabrik, tinjauan sosial ekonomi penduduk sekitar pabrik, dan tinjauan lain. Sungguh suatu kegiatan yang banyak melibatkan banyak disiplin ilmu pengetahuan.
Pabrik Gula Sebagai Kawasan Terpadu
Menjadikan pabrik gula sebagai wisata unggulan bukanlah omong kosong belaka jika diiringi dengan usaha yang sungguh-sungguh. Pabrik gula ibaratnya sebagai harta karun terpendam. Dengan menjadikannya sebagai tempat produksi, pabrik gula yang sarat dengan berbagai peralatan kuno menjadi daya tarik tersendiri. Tinggal bagaimana agar pabrik gula tersebut dikelola dengan baik sehingga mendatangkan banyak wisatawan dari lokal maupun mancanegara.
Dengan melihat gambar pada halaman sebelumnya, terhitung lebih dari 60 obyek wisata di Jawa Timur. Jumlah itu akan terus bertambah, apalagi jika semua pabrik gula di Jawa Timur bisa menjadi obyek wisata yang menjual. Dengan sekitar 30 buah pabrik gula di provinsi Jawa Timur dan sebanyak 11 buah pabrik gula yang dimiliki PTNP X, menciptakan peluang yang besar untuk membuat pabrik tersebut sebagai tujuan wisata.
Yang dimaksud dengan kawasan terpadu pada tulisan ini adalah pabrik-pabrik gula yang ada di Jawa Timur, dan khususnya kesebelas pabrik gula milik PTPN X dijadikan satu paket wisata terpadu dengan perumahan penduduk yang ada di sekitar pabrik. Atau dapat dikatakan sebagai pariwisata yang berbasis pada masyarakat.
Dalam konsep ini, para wisatawan dapat menginap pada perumahan-perumahan penduduk, khususnya tinggal bersama para petani tebu. Tentunya, hal ini tidak menafikan kehadiran hotel-hotel maupun penginapan lain yang dikelola secara modern. Dengan menginap di rumah-rumah penduduk, para wisatawan dapat lebih menikmati wisatanya lengkap dengan merasakan sentuhan keakraban dari penduduk setempat. Hal ini tentunya bisa menambah nilai plus yang jarang ditemukan di tempat yang lain. Misalnya, para wisatawan bisa menikmati manisnya tebu langsung dari lahan para petani tanpa menunggu menjadi gula. Bermalam bersama penduduk lokal sambil menikmati makanan khas daerah tersebut menjadi pengalaman unik tersendiri bagi para wisatawan.
Di sinilah tugas bagi pengelola wisata pabrik gula untuk memberikan pemahaman yang sama kepada semua penduduk yang tinggal di sekitar pabrik.
Apa, Siapa dan Bagaimana Seorang Public Relation?
Apa bedanya humas (hubungan masyarakat) dengan public relations (PR)? Secara bahasa, mungkin saja kedua istilah tersebut dianggap sama. Namun dalam kenyataan di lapangan, kedua istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda (Ronny Sugiantoro, 2000).
Ketika seorang wisatawan mendatangi pabrik gula, dan menanyakan tentang kebijakan pabrik. Seorang yang ditugasi sebagai humas, bisa saja menolak dengan alasan bukan kewenangannya. Tetapi humas tersebut, bisa melayani wisatawan yang meminta berbagai dokumentasi tentang pabrik.
Hal ini berbeda dengan seorang public relations (PR) yang mampu memberikan jawaban yang akurat mengenai data sekaligus mengenai kebijakan pabrik, baik tentang promosi, pemasaran, pesaing maupun rencana jangka panjang. Dapat dikatakan bahwa seorang public relations (PR) dapat menjadi wakil dari pengelola pabrik gula tersebut.
Lantas siapa yang bertindak sebagai public relations (PR) atau katakan humas itu?
Jawaban yang mudah adalah kita semua. Setiap orang yang tinggal di sekitar pabrik, pegawai pabrik, para petani tebu, bahkan pemegang kekuasan (dari kades/lurah, camat, bupati sampai gubernur) haruslah mampu menjadi public relations (PR) yang mumpuni.
Merekalah yang berkewajiban mempromosikan keberadaan wisata pabrik gula. Termasuk di dalamnya memiliki kemampuan yang memadai dalam meladeni berbagai pertanyaan, keluhan, saran dari para wisatawan. Demikian juga, ketika ada berbagai isu yang tidak menyenangkan seperti adanya pencemaran akibat aktivitas pabrik, demo para buruh pabrik, suap/korupsi serta berbagai kejadian lain, mereka berkemampuan untuk memberikan penjelasan yang memuaskan pada siapapun sehingga mampu mengurangi/menepis kerugian yang lebih jauh terhadap image pabrik gula.
Kerja Sama Antar Pelaku Pariwisata Sebagai Kunci Pemasaran
Sebagus apapun produk yang dihasilkan jika tidak dipasarkan maka produk travel agent tersebut akan tidak dikenal. Demikian juga dengan keberadaan wisata pabrik gula. Melalui strategi pemasaran yang baik pun belum tentu wisata pabrik gula banyak dikunjungi wisatawan apalagi tanpa perencanaan.
Semua pelaku pariwisata, khususnya pada wisata pabrik gula harus mempunyai kesamaan langkah dalam mengembangkan program wisata yang dikelola. Para pelaku pariwisata ini, meliputi : hotel, pengelola obyek wisata, kuliner, pemerintah daerah harus bahu-membahu mempromosikan bukan berkompetisi yang berakibat saling mematikan. Dan tidak lupa di sini adalah para penduduk sekitar lokasi serta para petani tebu untuk menghindari persaingan yang tidak sehat dalam menerima para wisatawan. Misalnya dengan saling membanting biaya penginapan maupun pemberian jasa lainnya.
Pemasaran yang dilakukan untuk menciptakan brand image pabrik gula yang layak menjual, dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu jalur online maupun offline.
Dengan perkembangan ICT (Information and Communication Technology), maka pemasaran melalui jalur internet tidak bisa dihindari lagi. Para wisatawan cenderung mengandalkan informasi yang didapat dari berbagai situs untuk mencari informasi lokasi wisata termasuk melakukan transaksi jasa yang akan dilakukan.
Termasuk di dalamnya pengaruh media sosial (seperti blogger, facebook, twitter dan lain-lain) sangat besar dalam mendorong wisatawan untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu. Debbie Hindle, Managing Director Four BGB yang berbasis di London, mengatakan, ”Media sosial adalah kesempatan besar perdagangan sosial.” Hindle juga menyoroti semakin pentingnya blogger perjalanan sebagai “suara independen yang berharga” menulis tentang tujuan dan topik pariwisata lainnya (Newsletter Pariwisata Indonesia Vol 4 No 37 tahun 2013).
Demikian juga salah satu strategi yang dilakukan oleh PTPN X dengan melakukan kegiatan lomba penulisan yang harus dimuat dalam blog peserta bisa dijadikan contoh nyata bagi pemasaran wisata pabrik gula. Para blogger ini bisa menimbulkan kepercayaan pada masyarakat melalui rekomendasi, pengalaman maupun pandangan pribadinya.
Hasil promosi melalui situs-situs web, blog pribadi, dan jejaring sosial dapat menjadi luar biasa ketika para pelaku pariwisata yang berkepentingan mau menampilkan gambar, video, tulisan tentang wisata pabrik gula. Hal ini bisa dimulai dari para pegawai dan keluarga dari perusahaan.
Tidak kalah pentingnya adalah pemasaran yang dilakukan secara offline, baik melalui roadshow maupun berbagai sosialisasi yang lain. Tidak ada salahnya dibentuk tim khusus yang menangani wisata pabrik gula ini yang bertugas untuk melakukan sosialisasi dan publikasi mengenai wisata pabrik gula. Pembagian profil dalam bentuk buklet maupun keping CD/DVD dalam kegiatan roadshow atau sosialisasi memberikan nilai yang plus ketimbang hanya berbicara di depan khalayak.
Setelah promosi, selanjutnya bagaimana?
Berbagai promosi yang dilakukan baik dalam skala lokal maupun internasional tidak banyak berguna jika tidak ada pembenahan di dalam. Jaminan keamanan dan kenyamanan bagi para wisatawan harus diutamakan. Selain itu culture dan heritage harus ada sebagai nyawa atau roh dari kegiatan pariwisata. Tanpa adanya budaya maka pariwisata akan terasa kering dan tidak memiliki daya tarik untuk dikunjungi (Sobagyo, 2012).
Brand image mengenai pabrik gula sebagai tempat yang bersih dan rapi juga harus dibarengi dengan pembenahan lingkungan pabrik. Seperti dikatakan oleh Kepala Bidang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) PTPN X, Wasis Pramono, bahwa program kebersihan dan penghijauan sudah dicanangkan di lingkungan pabrik gula sebagai aspek pendukung kegiatan wisata sejarah pabrik gula.
Berdasarkan uraian di atas, penulis optimis bahwa wisata pabrik gula bisa menjadi wisata unggulan, khususnya di Jawa Timur. Berbagai kendala dan tantangan yang muncul, terutama dalam masalah keamanan dan kenyamanan dapat disikapi dengan berbagai strategi yang intinya menjadikan para pelaku pariwisata (termasuk para petani tebu dan masyarakat) dibekali kemampuan sebagai public relations (PR) yang handal.
Referensi :
Soebagyo. 2012. Strategi Pengembangan Pariwisata di Indonesia. Dimuat dalam Jurnal Liquidity Vol. 1, No. 2. Juli – Desember, hlm. 153 – 158
Sugiantoro, Ronny. 2000. Pariwisata : Antara Obsesi dan Realita. Yogyakarta : AdiCita
Eropa Tumbuh 2% : Asia Lebih Banyak Mendorong Pertumbuhan. Dalam Newsletter Pariwisata Indonesia Vol. 4, No. 37 tahun 2013, Hal 31-33
Sumber gambar
No comments:
Post a Comment