Air mata, tetes air, dan mata air
Air Mata Kebanjiran
Banjir yang melanda beberapa bagian negeri ini, membuat air mata ibu pertiwi menangis. Isak tangis bayi, anak-anak kecil, ibu-ibu, dan bahkan kaum lelaki menambah suasana semakin menyedihkan. Betapa rumah yang dibangun dengan susah payah menjadi porak poranda. Betapa yang sebelumnya bisa menikmati segala makanan, hanya mie instan yang menjadi pengganjal perut. Tak terhitung kerugian lain baik yang bersifat moril maupun materiil.
Banjir yang sebenarnya, sudah menjadi fenomena yang terus berulang tidak menyadarkan masyarakat untuk berupaya agar pada waktu-waktu berikutnya pengaruhnya dikurangi. Makin tambah tahun banjir makin tambah besar, apalagi dengan aktivitas penduduknya yang membuat banjir makin sering terjadi.
Bertambahnya jumlah penduduk, terutama di kota-kota besar makin membuat permukiman semakin padat. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat untuk pemukiman membuat penebangan hutan semakin menjadi-jadi.
Air hujan yang sedikit berlebih pun akan membuat banjir mudah terjadi karena tanah tidak mampu menyerapnya. Ketika sungai semakin dangkal akibat pembuangan sampai ditambah banyaknya hunian di sepanjang bantaran sungai, dapat dipastikan tiap tahun banjir akan semakin besar.
Dampak yang timbul akibat banjir selain rusaknya bangunan dan perabot-perabotnya pun bermunculan (Heru Susila, 2009).
Pertama, munculnya berbagai penyakit seperti diare. Sampah-sampah rumah tangga maupun dari tempat penampungan menyatu dengan air dan menyebarkan berbagai sumber penyakit seperti bakteri,virus, parasit, dan bibit penyakit yang lain. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh nyamuk seperti malaria dan demam berdarah pun semakin banyak dengan adanya kubangan air di mana-mana.
Kedua, berbagai unsur-unsur kimia berbahaya ikut terbawa banjir yang bisa mengakibatkan tercemarnya sumber-sumber air bagi penduduk, baik air dari PAM maupun air sumur.
Cukuplah dengan dua hal tersebut, sebagai manusia yang mempunyai kesadaran tentunya akan melakukan berbagai usaha untuk mengurangi potensi terjadinya banjir di daerahnya masing-masing.
Air Bersih Vs Air Limbah
Bumi kita sebagian besar tertutup oleh air. Tetapi hanya sebagian kecil air bersih yang bisa dimanfaatkan. Apalagi jika terjadi banjir pasti kita akan menyadarinya.
Demikian juga dengan tubuh kita, yang sebagian besar tersusun atas air. Ketika tubuh kehilangan air ketika kita berkeringat maupun buang air, maka persediaan air harus segera digantikan. Kita tidak dapat hidup lama tanpa air. Apakah jika tidak ada air bersih kita mau nekat minum air hujan bahkan air sungai yang berwarna dan berbau tidak menyenangka? Tentunya tidak seperti itu. Berbeda dengan beberapa puluh tahun yang lalu, ketika belum banyak pencemar, meminum air dari aliran irigasi mungkin tidak terlalu berbahaya. Meminum air hujan pun masih aman. Karena air hujan sebenarnya bersih, cuma air tersebut tercemari oleh udara yang kotor.
Kita membutuhkan air bersih, tetapi sayang yang namanya air itu mudah tercemar. Hal ini terjadi karena tercampurnya air dengan zat-zat kimia berbahaya baik yang dihasilkan dari pabrik-pabrik maupun dari rumah tangga. Termasuk juga di dalamnya limbah yang dihasilkan dari aktivitas manusia ketika buang air besar.
Masih banyak ditemukan pada rumah-rumah yang di pinggiran sungai, meski lubang lubang WC-nya di dalam rumah, tetapi pembuangannya dialirkan ke sungai tersebut. Dan ironisnya, hal ini banyak dilakukan bukan saja oleh orang awam tetapi juga oleh kalangan yang terpelajar. Kotoran manusia yang dialirkan ke sungai jelas akan merusak kesehatan air sungai. Apalagi jika sang pelakunya sedang menderita penyakit, maka kotorannya pun akan membawa penyakit serupa yang dapat menular.
Zat kimia kimia yang dimaksud dalam skala rumah tangga, dapat berbentuk deterjen. Banyaknya deterjen yang sukar bereaksi dengan air menambah sederetan panjang pencemaran di air. Pada air yang tercemari deterjen, dasar airnya mengandung zat-zat yang dipakai dalam deterjen.
Limbah industri kecil, seperti industri tahu dan tempe akan menyebabkan air berwarna biru kehitaman dan berbau busuk.
Demikian juga di pabrik-pabrik pertambangan logam maupun zat kimia. Air yang digunakan untuk membersihkan logam dari batuan yang tidak berguna telah melarutkan zat-zat tertentu. Dan di antara zat-zat tersebut ada yang termasuk bahan pencemar, seperti raksa, timah dan belerang.
Dengan semakin padatnya manusia, semakin banyak bahan pencemar yang digunakan. Dari berbagai pencemaran, manuasialah penyumbang terbesar kerusakan lingkungan hidup.
Sebenarnya untuk mengubah air limbah menjadi air bersih ada beberapa teknik yang bisa dilakukan (Iman Rahayu, 2009).
1. Pengolahan secara fisika
Pengolahan dengan cara ini pada dasarnya merupakan pengolahan untuk menyingkirkan zat-zat penyebab air kotor tanpa mengubah zat itu sendiri. Pengolahan secara fisika meliputi penyaringan, flotasi (pengapungan), adsorpsi (penyerapan).
2. Pengolahan secara fisika
Pada pengolahan ini dengan cara menghilangkan partikel yang tidak mudah mengendap seperti koloid, logam berat, senyawa fosfor, maupun zat organik beracun. Teknik yang digunakan adaah flokulasi – koagolasi yang bertujuan mengubah sifat bahan-bahan tersebut dari tidak mudah mengendap menjadi mudah mengendap.
Proses pengolahan air kotor/limbah menjadi air bersih pun bisa dilakukan menggunakan teknik penyaringan sederhana sampai cara yang kompleks.
Dalam proses pengolahan air ini dikenal dua cara, yaitu : 1) pengolahan lengkap (complete treatment process). Pengolahan dengan cara ini dilakukan secara lengkap, baik secara physics, kimiawi, dan bakteriologik. Pengolahan ini biasa dilakukan terhadap air sungai yang kotor/keruh; 2) Pengolahan sebagian (partial treatment process). Pada pengolahan ini air cukup diolah secara kimiawi dan/atau pengolahan bakteriologik saka. Pengolahan ini biasa dilakukan pada mata air bersih maupun air dari sumur yang dangkal/dalam (Totok Sutrisno, 2002).
Mata Air Kekeringan
Di sisi lain, kekeringan pun menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Kekeringan ini bisa disebabkan karena kondisi alam yang tidak menentu akibat pemanasan global, maupun ketidakmampuan pasokan air karena jumlah penduduk semakin banyak.
Artinya, kita tidak bisa menyalahkan begitu saja pada alam yang tidak lekas mengucurkan air hujannya. Beberapa aktivitas manusia yang menyebabkan kekeringan, di antaranya penebangan hutan, penggunaan tanah yang tidak tepat, penggunaan yang berlebihan, maupun polusi air.
Penulis teringat ketika masih kecil, sekitar tahun 1987 sempat tinggal di daerah pegunungan tepatnya di desa Srati, kecamatan Ayah, kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Untuk keperluan mandi, mencuci, dan memasak memanfaatkan sumber air “belik” yang airnya muncul dari sela-sela batuan. Tak terbayangkan betapa jernih dan segar air di situ. Kemudian, sudah menjadi kebiasaan bersama-sama teman, setelah pulang sekolah mandi di sungai yang jernih.
Beberapa tahun kemudian, penulis kembali berkunjung ke sana. Berharap dapat menikmati segarnya “belik” dan air sungainya, ternyata keadaan sudah berubah. Mata air “belik” tersebut tidak lagi mengeluarkan airnya dan sungainya pun sudah berubah. Zaman sudah berubah, penulis mandinya di bak mandi yang airnya dari selang-selang yang berasal dari sumber air. Entah dari mana.
Menginjak usia SMP, penulis pernah mengikuti perkemahan di Wadaslintang, Kebumen, Jawa Tengah. Seperti biasa dalam perkemahan, antri mandi merupakan salah satu masalah. Ketimbang antri mandi di rumah penduduk, penulis bersama-sama teman berjalan-jalan dan akhirnya menemukan sungai yang jernih. Bergegas penulis mandi di sana, dan sekaligus sholat di atas batuan. Kami pun kembali ke tenda dengan hati riang dan berharap besok kembali.
Pagi harinya, penulis bersama beberapa teman kembali ke sungai tersebut. Dan betapa terkejutnya, kami melihat kotoran manusia terapung-apung. Kami saling berpandangan dan akhirnya berjalan menyusuri sungai dan ternyata di beberapa tempat ada bekas orang buang air besar. Entah siapa pelakunya, apakah penduduk di situ ataukah teman sendiri. Atau juga pada hari sebelumnya sudah ada hal tersebut tetapi kami tidak menyadarinya.
Yang jelas, sampai sekarang penulis jarang menemukan mata air yang bisa menjadi tumpuhan ketika kekeringan melanda.
- Hargailah air bersih ketika kita tidak membutuhkannya.
Karena mereka bisa menghilang justru ketika kita membutuhkannya -
Referensi
Rahayu, Iman. 2009. Cara Menangani Air Kotor Menjadi Air Bersih. CV Citra Praya
Susila, Heru P. 2009. Bencana Alam Hidrologi. PT Pustaka Tiga Kelana
Sutrisno, Totok. 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta : Rineka Cipta
Sumber Gambar